Senin, 07 Maret 2016

KONSEP POLITIK


KONSEP POLITIK




1.    Pengertian Negara sebagai Konsep Politik

Di dalam konsep politik, negara mempunyai tugas yang penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat dan bertentangan satu sama lain. Di samping itu, negara juga mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas individu atau orang perorang dan golongan agar dapat dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang mereka cita-citakan. Bagian yang paling penting adalah pemilikan kekuasaan yang sangat besar. Jadi negara memiliki monopoli kekerasan yang absah dan menjamin pelaksanaan hukum di seluruh wilayah teritorialnya.

Beberapa pandangan tentang negara sebagai konsep politik dikemukakan oleh Arif Budiman (melalui Cholisin, 2007 : 57-58) sesuai pendapat para ahli yaitu Plato, Aristoteles, Max Weber, dan Hegel. Menurut Plato, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tidak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral dan rasional. Menurut Aristoteles, negara itu juga menguasai manusia, keseluruhan selalu menentukan bagian-bagiannya. Jadi disini tampak pula penglihatan yang universal dan bukan individualistis, dimana manusia pertama itu tidak dipandang sebagaimanusia pribadi, melainkan sebagai warga suatu negara.

Sedangkan Weber, menyatakan negara yang merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hegel mendukung pemberian kekuasaan yang besar kepada negara. Ia berpendapat bahwa negara modern memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya Karena negara mewakili umum, ia menjadi menifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Dengan mematuhi negara, individu yang menjadi warga negara tersebut sedang dibebaskan dari kepicikannya yang hanya memperjuangjkan kepentingan dirinya yang sempit.

Pendapat lain dikemukakan oleh Karl Marx bahwa yang menyatakan negara adalah sistem dominasi politik yang abstrak,irasional yang hanya menolak hakikat sosial manusia dan mengasingkannya dari keterlibatan murni dalam kehidupan orang banyak. Bahkan elite negara merupakan representasi kepentingan pribadi. Dengan kata lain,Marx memandang negara lebih merupakan instrumen kekuasaan kelas. Negara lebih menekankan aspek penggunaan kekuatan terorganisasi untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi kelas di dalam suatu masyarakat.

Negara sebagai konsep politik telah terwujud apabila telah dipenuhinya 3 unsur konstitutif sebagai kesatuan politik yaitu penduduk,wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.(Isjawara,1980:98). Negara yang telah memiliki ketiga unsur konstitutif tersebut dipandang sebagai kesatuan politik yang konkret,sebagaimana negara itu terjelma dalam sejarah sebaga asosiasi manusia.Jadi bukan negara sebagai idea,tetapi terlepas dari kenyataan sosialnya.

2.    Sifat Sifat Negara
Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya.Umumnya,dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa,sifat memonopoli, dan mencakup semua.

a.    Sifat Memaksa
Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah,maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk mencapai itu adalah polisi,tentara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan,akan tetapi aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat.

Di dalam masyarakat homogen,dan didujung adanya konsensus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama,biasanya sifat paksaan ini akan lebih tampak.Dalam hal demikian,di negara-negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi(meyakinkan). Lagipula pemakaian paksaan secara ketat selain memerlukan organisasi yang ketat juga memerlukan biaya yang tinggi.

Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini akan dikenai sanksi,disita miliknya,didenda, atau di beberapa negara malah dikenai hukuman kurungan.

b.    Sifat Memonopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatajan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan,oleh karena itu dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan masyarakat.
c.    Sifat Mencakup Semua (all-encompasssing, all-embracing)
Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu,sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar lingkup aktivitas negara,maka usaha nagara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan ajan gagal. Lagipula menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan bersifat sukarela.

2. keterkaitan partai politik dalam proses penyelenggaraan negara dan pencapaian tujuan negara

2. Pemilu Demokratis
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap warga negara Indonesia. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan prinsip one person, one vote, one value (opovov).
Yang dimaksud dengan pemilu yang bersifat langsung adalah rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan memberikan suaranya secara langsung. Sedangkan pemilu yang bersifat umum mengandung makna terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin  keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun.
Selanjutnya, pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama dan bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

3. Sistem Kepartaian Sederhana
Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan  sistem kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.
Seperti kita ketahui bersama, praktik yang sekarang terjadi adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan keputusan oleh pemerintah hampir selalu mendapat hambatan dan tentangan dari parlemen. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya koalisi partai politik yang permanen, baik yang mendukung pemerintahan maupun koalisi partai politik dalam bentuk yang lain. Hal ini diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip check and balances dari sistem presidensial.
Munculnya banyak partai politik selama ini dikarenakan persyaratan pembentukan partai politik yang cenderung sangat longgar. Selain itu, penyederhanaan sistem kepartaian juga terkendala oleh belum terlembaganya sistem gabungan partai politik (koalisi) yang terbangun di parlemen atau pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati dan wakil  bupati/walikota dan wakil walikota. Pada pemilu presiden tahun 2004 dan terpilihnya beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah baru-baru ini, gabungan partai politik (koalisi) sebetulnya sudah dilaksanakan. Namun, gabungan (koalisi) tersebut lebih bersifat instan, lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dan belum berdasarkan pada platform dan program politik yang disepakati bersama untuk jangka waktu tertentu dan bersifat permanen.
Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses itu menjadi sangat penting.  Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah. Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan komplikasi satu dengan lainnya.
Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama partai politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain,  tidak adanya disiplin partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem presidensial agar mampu menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan menyederhanakan jumlah partai politik. Jumlah partai politik yang lebih sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi partai politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.

4. Pelembagaan Partai Politik
Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, apabila partai politik mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.  
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi partai yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok baru ke dalam sistem politik.
Penguatan partai politik di Indonesia dapat dilakukan pada 3 level, yaitu : level akar rumput, level pusat, dan level pemerintahan. Pada level akar rumput partai menghadapi konteks lokal, partai lokal, pendukung, serta masyarakat pemilih. Pada level pusat partai menghadapi konteks nasional, partai-partai lain, dan negara. Pada level pemerintahan partai menghadapi konteks dalam pemerintahan, fraksi-fraksi lain, komisi, dan negara.
Penguatan partai politik pada level akar rumput merupakan ujung tombak partai, merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan basis sosial partai dan masyarakat secara umum. Pengelolaan partai politik pada akar rumput ini pada akhirnya akan menentukan kuat atau lemahnya dukungan terhadap partai. Persoalan memelihara loyalitas pendukung menjadi problema utama bagi partai politik di akar rumput. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa peranan partai di akar rumput saat ini lebih banyak diambil oleh organisasi masyarakat sipil dan media massa. Penguatan juga harus dilakukan pada level partai di pusat. Partai di pusat bukan hanya menjadi payung bagi aktivitas partai pada level pemerintahan, tetapi juga menjadi pendukung aktivitas pekerja partai dan koordinator berbagai kepentingan. Apa pun kebijakan yang diambil harus dikomunikasikan kepada partai pada level akar rumput dan pada partai di pemerintahan. Peran partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diraih oleh partai politik kemudian harus ditransformasikan dalam berbagai kebijakan dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Pelembagaan partai partai biasa dilakukan melalui penguatan 4 (empat) komponen kunci, yakni, pengakaran partai (party rooting), legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation), dan daya saing partai (competitiveness). Pengakaran partai dimaksudkan agar partai terikat secara organik dengan masyarakat, khususnya dengan konstituennya. Dengan ini partai dapat secara kontinyu menjalankan fungsi-fungsinya yang terhubung secara langsung dengan masyarakat, seperti pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik dan juga agregasi kepentingan yang lebih luas. 
Selanjutnya, pelembagaan kepartaian bisa juga dilakukan dengan menata aturan dan regulasi (rule and regulation) dalam partai.  Maksudnya adalah penguatan partai dengan menciptakan kejelasan struktur dan aturan kelembagaan dalam berbagai aktivitas partai baik di pemerintahan, internal organisasi, maupun akar rumput. Dengan adanya aturan main yang jelas dan disepakati oleh sebagian besar anggota, dapat dicegah upaya untuk manipulasi oleh individu atau kelompok tertentu bagi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang merusak partai. Kemudian, dalam perbaikan terhadap struktur dan aturan, dapat dilekatkan berbagai nilai demokrasi dalam pengelolaan partai.
Pelembagaan partai politik juga dilakukan dengan menguatkan daya saing partai yakni yang berkaitan dengan kapasitas atau tingkat kompetensi partai untuk berkompetisi dengan partai politik lain dalam arena pemilu maupun kebijakan publik. Daya saing yang tinggi dari partai ditunjukkan oleh kapasitasnya dalam mewarnai kehidupan politik yang didasari pada program dan ideologi partai sebagai arah perjuangan partai. Secara teoretik, daya saing partai berarti kapasitasnya untuk memperjuangkan program yang telah disusun. Partai yang demikian seringkali dianggap memiliki identitas partai programatik.
Dengan demikian, secara keseluruhan pelembagaan partai dapat dilihat dari seberapa partai memperkuat dirinya dalam hal pengakaran, penguatan legitimasi, pembuatan aturan main, dan peningkatan daya saing.

3. Fungsi Partai Politik
Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai  yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.
Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader.  Partai politik cenderung membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti. Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja partai yang bersifat jangka panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai visi, misi, program dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan rakyat.  Sebagai akibatnya, partai politik tidak memiliki program yang jelas dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan,  belum dapat  membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.
Partai politik semacam ini hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara di daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh kekuasaan tanpa memperhatikan kepentingan dan pemenuhan hak konstituen. Hal ini yang membuat partai gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Dalam kondisi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang berakibat pada penurunan dukungan masyarakat terhadap perolehan suara, hal ini dapat menimbulkan frustasi bagi kader dan pengurus partai. Kondisi ini akan berakibat kader dan pengurus partai yang berdedikasi tinggi sekaligus memiliki karakter, dengan mudah mengubah garis politik.
Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan program kerja dan orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang terabaikan, rendahnya kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang responsif dan inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik  dan konflik yang sering tidak terselesaikan oleh  internal partai.  Konflik yang tidak terselesaikan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengaturan penyelesaian konflik yang dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat internal partai, maupun penyelesaian konflik/perselisihan yang dilakukan melalui pengadilan. Tambahan lagi, tidak adanya kesadaran para pengurus untuk segera menyelesaikan konflik dan masing-masing mau menangnya sendiri akan mengakibatkan semakin berlarut-larutnya konflik tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian adalah belum ada pengaturan yang dapat dijadikan pedoman untuk membekukan kepengurusan partai politik, baik untuk kepengurusan tingkat pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota.  Problem lain yang dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik sekalipun masih menemukan kendala kultural dan struktural.   

4. Kemandirian Partai Politik
Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian partai yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran di dalam internal partai. Hal ini mengakibatkan partai senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari pemerintah dan pihak  lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai  politik sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selain itu, mekanisme pengelolaan keuangan yang tidak didasarkan pada perencanaan dan penganggaran, pengakuntansian dan pelaporan yang baik, mengakibatkan  tidak terwujudnya laporan pertanggungjawaban keuangan partai yang transparan, akuntabel dan auditable. Hal ini mendorong rendahnya tingkat kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap partai politik dalam mengelola keuangan dan kekayaannya.

5. Pembentukan Partai Politik
Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa  “Partai politik didirikan dan dibentuk  oleh sekurang-kurangnya  50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris”. Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Oleh karena itu, di masa depan perlu  diupayakan adanya kenaikan jumlah warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai politik paling sedikit 250 orang.
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin partai.   Hal ini membuat kepengurusan partai di daerah sering kali tidak menikmati otonomi politik dan harus rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan ini,  penyempurnaan sistem kepartaian dalam rangka mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan, perlu diatur ketentuan yang mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan kredibel, terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel, dan penguatan basis dan struktur kepartaian.

6. Kesimpulan
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya  untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu.
Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran parpol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan parpol sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


3. perbedaan perkembangan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di indonesia mulai dari orde baru sampai orde lama
  1.  1. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) PerbedaanEkonomiIndonesiaberkembang pesatmeski hal ini belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.dibarengi praktekkorupsi yangmerajalela.Presiden Soeharto Di dalam pemulihan Menstabilkan fundamen Anggaran subsidi BBMmenetapkan ekonomi, menekan ekonomi makro meliputi dialihkan ke subsidipertumbuhan laju inflasi dan inflasi, BI rate, sektor pendidikan danekonomi sebagai gejolak moneter, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, serta bidang-pokok tugas dan memotong nilai tukar kurs rupiah terhadap bidang yangtujuan pemerintah rupiah terhadap dollar dolar, angka kemiskinan. mendukung masih berkisar antara peningkatan Rp 10.000 – Rp kesejahteraan 15.000. masyarakat
  2. 2. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY  Pemerintahanð Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)ðPersamaan  Presiden tidakðberdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).  Menteri negara ialahðbertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan ð Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.ðPerwakilan Rakyat.  Kewenangan menjalankanðMenganut Sistem Pemerintahan Presidensial anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”).
  3. 3. Orde Baru (Soeharto) Reformasi B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanKekuasaan negara tertinggidi tangan Majelis Kekuasaan negara tertinggi tidak lagi di tangan Majelis PermusyawaratanPermusyawaratan Rakyat. Rakyat.1) Menetapkan UUD, Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan2) Menetapkan GBHN, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3,3) Mengangkat Presiden dan mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :Wakil Presiden - Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. - Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. - Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.Penyatuan partai-partaipolitik (hanya ada tiga partai Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyakpolitik yakni PPP,Golkar bermunculan partai-partai politik barudan PDI)
  4. 4. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanSistem pemerintahanlebih stabil, tidakmudah jatuh atau Pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahanberganti.Pemerintahan lemahsolid dan kompakfokus pada Kebijakan- belum ada tindakan Kolusi, Korupsi, danpembangunan ekonomi kebijakannya yang cukup berarti Nepotisme (KKN) diutamakan untuk untuk menyelamatkan sebagai prioritas mengendalikan negara dari penting stabilitas politik. keterpurukan.Kabinet Pembangunan Kabinet Gotong Kabinet Indonesia Kabinet Reformasi Royong VII Bersatu
  5. 5. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Perbedaan Lahir UU Persaingan Sehat, perubahan UUSentralistik Muncul otonomi daerah yang kebablasan Partai Politik, adanya UU Otonomi daerahDemokrasi Pancasila Demokrasi Liberal (neoliberaliseme),Sistem politikotoriter (partisipasi Media masa dan pers terbuka, orang bebas mengemukakan pendapatnya di mukamasyarakat sangat umum. baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasiminim) pembatasanruang gerak pers,Pemilu Luber(Langsung, Umum, pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adilBebas, Rahasia)
  6. 6. Orde Baru (Soeharto) Reformasi B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanAdanya Trilogi Tidak ada Trilogi pembangunanPembangungan, yaitu stabilitaspolitik, pertumbuhan ekonomiyang stabil, dan pemerataanpembangunanPresiden adalah penyelenggara Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurutpemerintah negara yang UUD.tertinggi dibawah MajelisPermusyawaratan Rakyat
  7. 7. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Masih ada ketimpangan ekonomi , kemiskinan, ketidakadilan Perbedaankesenjangan Mengangkat kaumantara rakyat minoritas.yang kaya danmiskin semakinmelebar
  8. 8. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Perbedaan pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. RakyatSemua serba menikmati kebebasantertutup dan tidak Adanya kebebasan Pers. Mulai bersifat transparan. (namun sepertinyatranparan terlalu “bebas”). Media massa menjadi terbuka.Adanya dwifungsi Dwifungsi ABRI dihapuskan. Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi ABRI Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru
1. Pemilu 1971
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemi¬lu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerin¬tahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan su-aranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
  1. Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
  2. Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
  3. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
  4. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
c. Dasar Hukum
  1. TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
  2. TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
  3. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Per-musyawaratan / Perwakilan Rakyat
  4. UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad¬hoc).
e. Peserta Pemilu

Peserta Pemilu 1971 terdiri atas :
a. Partai Nahdlatul Ulama
b. Partai Muslim Indonesia
c. Partai Serikat Islam Indonesia
d. Persatuan Tarbiyah Islamiiah
e. Partai Nasionalis Indonesia
f. Partai Kristen Indonesia
g. Partai Katholik
h. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
i. Partai Murba
j. Sekber Golongan Karya
2. PEMILU 1977
a. Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per¬wakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum
  1. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Bi¬dang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
  2. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.
  3. Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
  4. Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
  5. Undang-undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
  6. Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struk¬tur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di desa/kelu¬rahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
e. Peserta Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu :
  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
  2. Golongan Karya (GOLKAR).
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.
3. PEMILU 1982
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
b. Asas Pemilu
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
c. Dasar Hukum
  1. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu.
  2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin¬tah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu

Peserta Pemilu 1982 terdiri atas :
  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
  2. Golongan Karya (Golkar).
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
4. PEMILU 1987
a. Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum
  1. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
  2. UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se-bagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin¬tah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu 1987

Peserta Pemilu 1987 terdiri atas :
    1. Partai Persatuan Pembangunan.
    2. Golongan Karya
    3. Partai Demokrasi Indonesia.
5. PEMILU 1992
a. Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
    1. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.
    2. UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu.

Peserta Pemilu 1992 terdiri atas :
    1. Partai Persatuan Pembangunan.
    2. Golongan Karya.
    3. Partai Demokrasi Indonesia.
6. PEMILU 1997
a. Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
    1. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.
    2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum.
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaima¬na telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu.

Peserta Pemilu 1997 terdiri atas :
    1. Partai Persatuan Pembangunan.
    2. Golongan Karya.
17.  Partai Demokrasi Indonesia
Penyelenggaraan pemilu pada masa reformasi
Jakarta (ANTARA News) - Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatannya digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan.

Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk Pemilu 1997.

Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang harusnya sampai 2003.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.

Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.

Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.

Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.

Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.

Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.

Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.

Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.

Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.

Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.

Menyongsong Pemilu 2014
Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta pemilu 2014.

Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.

Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR.  (*)

0 komentar:

Posting Komentar