KONSEP POLITIK
1.
Pengertian Negara sebagai Konsep Politik
Di dalam konsep
politik, negara mempunyai tugas yang penting yaitu mengendalikan dan mengatur
gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat dan bertentangan satu sama
lain. Di samping itu, negara juga mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan
mengintegrasi aktivitas individu atau orang perorang dan golongan agar dapat
dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang mereka cita-citakan. Bagian yang paling
penting adalah pemilikan kekuasaan yang sangat besar. Jadi negara memiliki
monopoli kekerasan yang absah dan menjamin pelaksanaan hukum di seluruh wilayah
teritorialnya.
Beberapa pandangan
tentang negara sebagai konsep politik dikemukakan oleh Arif Budiman (melalui
Cholisin, 2007 : 57-58) sesuai pendapat para ahli yaitu Plato, Aristoteles, Max
Weber, dan Hegel. Menurut Plato, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal
yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tidak dapat dikendalikan, bila
negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan
mengajarkan nilai-nilai moral dan rasional. Menurut Aristoteles, negara itu
juga menguasai manusia, keseluruhan selalu menentukan bagian-bagiannya. Jadi
disini tampak pula penglihatan yang universal dan bukan individualistis, dimana
manusia pertama itu tidak dipandang sebagaimanusia pribadi, melainkan sebagai
warga suatu negara.
Sedangkan Weber,
menyatakan negara yang merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan
untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hegel mendukung pemberian
kekuasaan yang besar kepada negara. Ia berpendapat bahwa negara modern memiliki
hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya Karena negara mewakili umum,
ia menjadi menifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Dengan mematuhi
negara, individu yang menjadi warga negara tersebut sedang dibebaskan dari
kepicikannya yang hanya memperjuangjkan kepentingan dirinya yang sempit.
Pendapat lain
dikemukakan oleh Karl Marx bahwa yang menyatakan negara adalah sistem dominasi
politik yang abstrak,irasional yang hanya menolak hakikat sosial manusia dan mengasingkannya
dari keterlibatan murni dalam kehidupan orang banyak. Bahkan elite negara
merupakan representasi kepentingan pribadi. Dengan kata lain,Marx memandang
negara lebih merupakan instrumen kekuasaan kelas. Negara lebih menekankan aspek
penggunaan kekuatan terorganisasi untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi
kelas di dalam suatu masyarakat.
Negara sebagai konsep
politik telah terwujud apabila telah dipenuhinya 3 unsur konstitutif sebagai
kesatuan politik yaitu penduduk,wilayah, dan pemerintahan yang
berdaulat.(Isjawara,1980:98). Negara yang telah memiliki ketiga unsur
konstitutif tersebut dipandang sebagai kesatuan politik yang
konkret,sebagaimana negara itu terjelma dalam sejarah sebaga asosiasi
manusia.Jadi bukan negara sebagai idea,tetapi terlepas dari kenyataan
sosialnya.
2.
Sifat Sifat Negara
Negara mempunyai
sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya
dan hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau
organisasi lainnya.Umumnya,dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat
memaksa,sifat memonopoli, dan mencakup semua.
a.
Sifat Memaksa
Agar peraturan
perundang-undangan ditaati dan penertiban dalam masyarakat tercapai serta
timbulnya anarki dapat dicegah,maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti
mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk
mencapai itu adalah polisi,tentara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi
yang lain dari negara juga mempunyai aturan,akan tetapi aturan yang dikeluarkan
oleh negara lebih mengikat.
Di dalam masyarakat
homogen,dan didujung adanya konsensus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan
bersama,biasanya sifat paksaan ini akan lebih tampak.Dalam hal demikian,di
negara-negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai
seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi(meyakinkan). Lagipula
pemakaian paksaan secara ketat selain memerlukan organisasi yang ketat juga
memerlukan biaya yang tinggi.
Unsur paksa dapat
dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus
membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini akan dikenai
sanksi,disita miliknya,didenda, atau di beberapa negara malah dikenai hukuman
kurungan.
b.
Sifat Memonopoli
Negara mempunyai
monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini
negara dapat menyatajan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik
tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan,oleh karena itu dianggap
bertentangan dengan tujuan-tujuan masyarakat.
c.
Sifat Mencakup Semua (all-encompasssing, all-embracing)
Semua peraturan
perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua
orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu,sebab kalau seseorang
dibiarkan berada di luar lingkup aktivitas negara,maka usaha nagara ke arah
tercapainya masyarakat yang dicita-citakan ajan gagal. Lagipula menjadi warga
negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary
membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan
bersifat sukarela.
2.
keterkaitan partai politik dalam proses penyelenggaraan negara dan pencapaian
tujuan negara
2. Pemilu Demokratis
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi
dambaan setiap warga negara Indonesia. Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan
secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak
pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan
mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan
prinsip one person, one vote, one value (opovov).
Yang dimaksud dengan pemilu yang bersifat
langsung adalah rakyat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara
yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti pemilu dan
memberikan suaranya secara langsung. Sedangkan pemilu yang bersifat umum
mengandung makna terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara,
tanpa diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga
negara yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara
dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
mana pun dan dengan jalan apa pun.
Selanjutnya, pemilu diselenggarakan oleh
penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas
yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate,
dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Penyelenggara
pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu,
pemilih, dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pemilih dan peserta pemilu mendapat
perlakuan yang sama dan bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil
dari pihak mana pun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar
lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat
keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang
jelas.
3. Sistem Kepartaian Sederhana
Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.
Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem kepartaian sederhana akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya partai politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.
Seperti kita ketahui bersama, praktik yang sekarang
terjadi adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap
pengambilan keputusan oleh pemerintah hampir selalu mendapat hambatan dan
tentangan dari parlemen. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong
terbentuknya koalisi partai politik yang permanen, baik yang mendukung
pemerintahan maupun koalisi partai politik dalam bentuk yang lain. Hal ini
diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip check and
balances dari sistem presidensial.
Munculnya banyak partai politik selama ini
dikarenakan persyaratan pembentukan partai politik yang cenderung sangat
longgar. Selain itu, penyederhanaan sistem kepartaian juga terkendala oleh
belum terlembaganya sistem gabungan partai politik (koalisi) yang terbangun di
parlemen atau pada saat pencalonan presiden dan wakil presiden, gubernur dan
wakil gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil
walikota. Pada pemilu presiden tahun 2004 dan terpilihnya beberapa kepala
daerah dan wakil kepala daerah baru-baru ini, gabungan partai politik (koalisi)
sebetulnya sudah dilaksanakan. Namun, gabungan (koalisi) tersebut lebih
bersifat instan, lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dan
belum berdasarkan pada platform dan program politik yang disepakati
bersama untuk jangka waktu tertentu dan bersifat permanen.
Secara teori ada keterkaitan yang erat antara
upaya penataan sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang
kuat dan efektif. Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan
antara kedua proses itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu
dan tenaga, seringkali penataan elemen sistem politik dan pemerintahan
dilakukan secara terpisah. Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan
menimbulkan kemungkinan komplikasi satu dengan lainnya.
Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif
konsisten antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai,
terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock
dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa
presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari
legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat
yang sama partai politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden
untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi
pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah
bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan
partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain, tidak adanya
disiplin partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak
pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh
perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem
presidensial agar mampu menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan
menyederhanakan jumlah partai politik. Jumlah partai politik yang lebih
sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi
politik. Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan
berkualitas. Publik juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan
konstelasi partai politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik
lebih sederhana.
4. Pelembagaan Partai Politik
Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, apabila partai politik mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.
Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut kokoh dan adaptabel, apabila partai politik mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya
harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik
melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas
politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan
partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk
mengurangi kadar tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian,
sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi partai yang mengakar dan
prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan kelompok baru ke dalam sistem
politik.
Penguatan partai politik di Indonesia dapat
dilakukan pada 3 level, yaitu : level akar rumput, level pusat, dan level
pemerintahan. Pada level akar rumput partai menghadapi konteks lokal, partai
lokal, pendukung, serta masyarakat pemilih. Pada level pusat partai menghadapi
konteks nasional, partai-partai lain, dan negara. Pada level pemerintahan
partai menghadapi konteks dalam pemerintahan, fraksi-fraksi lain, komisi, dan
negara.
Penguatan partai politik pada level akar rumput
merupakan ujung tombak partai, merekalah yang secara langsung bersentuhan
dengan basis sosial partai dan masyarakat secara umum. Pengelolaan partai
politik pada akar rumput ini pada akhirnya akan menentukan kuat atau lemahnya
dukungan terhadap partai. Persoalan memelihara loyalitas pendukung menjadi
problema utama bagi partai politik di akar rumput. Banyak pendapat yang
mengatakan bahwa peranan partai di akar rumput saat ini lebih banyak diambil
oleh organisasi masyarakat sipil dan media massa. Penguatan juga harus dilakukan
pada level partai di pusat. Partai di pusat bukan hanya menjadi payung bagi
aktivitas partai pada level pemerintahan, tetapi juga menjadi pendukung
aktivitas pekerja partai dan koordinator berbagai kepentingan. Apa pun
kebijakan yang diambil harus dikomunikasikan kepada partai pada level akar
rumput dan pada partai di pemerintahan. Peran partai politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang diraih oleh partai politik kemudian harus
ditransformasikan dalam berbagai kebijakan dengan mengedepankan kepentingan
rakyat.
Pelembagaan partai partai biasa dilakukan melalui
penguatan 4 (empat) komponen kunci, yakni, pengakaran partai (party rooting),
legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule
and regulation), dan daya saing partai (competitiveness).
Pengakaran partai dimaksudkan agar partai terikat secara organik dengan
masyarakat, khususnya dengan konstituennya. Dengan ini partai dapat secara
kontinyu menjalankan fungsi-fungsinya yang terhubung secara langsung dengan
masyarakat, seperti pendidikan politik, sosialisasi dan komunikasi politik dan
juga agregasi kepentingan yang lebih luas.
Selanjutnya, pelembagaan kepartaian bisa juga
dilakukan dengan menata aturan dan regulasi (rule and regulation)
dalam partai. Maksudnya adalah penguatan partai dengan
menciptakan kejelasan struktur dan aturan kelembagaan dalam berbagai aktivitas
partai baik di pemerintahan, internal organisasi, maupun akar rumput. Dengan
adanya aturan main yang jelas dan disepakati oleh sebagian besar anggota, dapat
dicegah upaya untuk manipulasi oleh individu atau kelompok tertentu bagi
kepentingan-kepentingan jangka pendek yang merusak partai. Kemudian, dalam
perbaikan terhadap struktur dan aturan, dapat dilekatkan berbagai nilai
demokrasi dalam pengelolaan partai.
Pelembagaan partai politik juga dilakukan dengan
menguatkan daya saing partai yakni yang berkaitan dengan kapasitas atau tingkat
kompetensi partai untuk berkompetisi dengan partai politik lain dalam arena
pemilu maupun kebijakan publik. Daya saing yang tinggi dari partai ditunjukkan
oleh kapasitasnya dalam mewarnai kehidupan politik yang didasari pada program
dan ideologi partai sebagai arah perjuangan partai. Secara teoretik, daya saing
partai berarti kapasitasnya untuk memperjuangkan program yang telah disusun.
Partai yang demikian seringkali dianggap memiliki identitas partai programatik.
Dengan demikian, secara keseluruhan pelembagaan
partai dapat dilihat dari seberapa partai memperkuat dirinya dalam hal
pengakaran, penguatan legitimasi, pembuatan aturan main, dan peningkatan daya
saing.
3. Fungsi Partai Politik
Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi
derajat kesisteman yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur
organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan
citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai
politik yang ada pada umumnya cenderung mengarah pada tipe partai politik
kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.
Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia,
terutama disebabkan oleh belum munculnya pola partai kader. Partai
politik cenderung membangun partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya
aktivitas hanya menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar,
belum memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta
belum mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Kelemahan yang mencolok partai politik yang
berorientasi pada massa adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai.
Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda
kegiatan yang berarti. Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja
partai yang bersifat jangka panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik
semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai
visi, misi, program dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui
kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai
akibatnya, partai politik tidak memiliki program yang jelas dalam melakukan
pendidikan politik kepada masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi
kepentingan, belum dapat membangun sosialisasi politik dan komunikasi
politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.
Partai politik semacam ini hanya berorientasi
pada perolehan dukungan suara di daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh
kekuasaan tanpa memperhatikan kepentingan dan pemenuhan hak konstituen. Hal ini
yang membuat partai gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan kepercayaan
masyarakat. Dalam kondisi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
yang berakibat pada penurunan dukungan masyarakat terhadap perolehan suara, hal
ini dapat menimbulkan frustasi bagi kader dan pengurus partai. Kondisi ini akan
berakibat kader dan pengurus partai yang berdedikasi tinggi sekaligus memiliki
karakter, dengan mudah mengubah garis politik.
Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan
program kerja dan orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang
terabaikan, rendahnya kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang
responsif dan inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik dan
konflik yang sering tidak terselesaikan oleh internal partai. Konflik
yang tidak terselesaikan tersebut disebabkan oleh terbatasnya pengaturan
penyelesaian konflik yang dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat internal
partai, maupun penyelesaian konflik/perselisihan yang dilakukan melalui
pengadilan. Tambahan lagi, tidak adanya kesadaran para pengurus untuk segera
menyelesaikan konflik dan masing-masing mau menangnya sendiri akan
mengakibatkan semakin berlarut-larutnya konflik tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pelembagaan
sistem kepartaian adalah belum ada pengaturan yang dapat dijadikan pedoman
untuk membekukan kepengurusan partai politik, baik untuk kepengurusan tingkat
pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Problem lain yang
dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan partai politik sekalipun masih menemukan kendala kultural dan
struktural.
4. Kemandirian Partai Politik
Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian partai yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran di dalam internal partai. Hal ini mengakibatkan partai senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari pemerintah dan pihak lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai politik sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat.
Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian partai yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan ganjaran di dalam internal partai. Hal ini mengakibatkan partai senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari pemerintah dan pihak lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai politik sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selain itu, mekanisme pengelolaan keuangan yang
tidak didasarkan pada perencanaan dan penganggaran, pengakuntansian dan
pelaporan yang baik, mengakibatkan tidak terwujudnya laporan
pertanggungjawaban keuangan partai yang transparan, akuntabel dan auditable.
Hal ini mendorong rendahnya tingkat kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap
partai politik dalam mengelola keuangan dan kekayaannya.
5. Pembentukan Partai Politik
Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa “Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris”. Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Oleh karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai politik paling sedikit 250 orang.
Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa “Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris”. Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Oleh karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan partai politik paling sedikit 250 orang.
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi
masalah sentralisasi yang terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain
ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat pengurus
pusat (DPP) dan pemimpin partai. Hal ini membuat kepengurusan
partai di daerah sering kali tidak menikmati otonomi politik dan harus rela
menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan
ini, penyempurnaan sistem kepartaian dalam rangka mendukung penguatan
sistem pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan, perlu diatur ketentuan
yang mengarah pada terbentuknya sistem multipartai sederhana, terciptanya
pelembagaan partai yang efektif dan kredibel, terbentuknya kepemimpinan partai
yang demokratis dan akuntabel, dan penguatan basis dan struktur kepartaian.
6. Kesimpulan
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu.
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu.
Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi
dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran parpol dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan parpol sebagai organisasi
yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat ditempuh
melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban,
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan
kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat,
partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta
memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan pemilu
harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu, perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat
melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan
menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
perbedaan perkembangan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di indonesia
mulai dari orde baru sampai orde lama
- 1. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) PerbedaanEkonomiIndonesiaberkembang pesatmeski hal ini belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi.dibarengi praktekkorupsi yangmerajalela.Presiden Soeharto Di dalam pemulihan Menstabilkan fundamen Anggaran subsidi BBMmenetapkan ekonomi, menekan ekonomi makro meliputi dialihkan ke subsidipertumbuhan laju inflasi dan inflasi, BI rate, sektor pendidikan danekonomi sebagai gejolak moneter, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, serta bidang-pokok tugas dan memotong nilai tukar kurs rupiah terhadap bidang yangtujuan pemerintah rupiah terhadap dollar dolar, angka kemiskinan. mendukung masih berkisar antara peningkatan Rp 10.000 – Rp kesejahteraan 15.000. masyarakat
- 2. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Pemerintahanð Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)ðPersamaan Presiden tidakðberdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Menteri negara ialahðbertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan ð Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.ðPerwakilan Rakyat. Kewenangan menjalankanðMenganut Sistem Pemerintahan Presidensial anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”).
- 3. Orde Baru (Soeharto) Reformasi B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanKekuasaan negara tertinggidi tangan Majelis Kekuasaan negara tertinggi tidak lagi di tangan Majelis PermusyawaratanPermusyawaratan Rakyat. Rakyat.1) Menetapkan UUD, Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan2) Menetapkan GBHN, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3,3) Mengangkat Presiden dan mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :Wakil Presiden - Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. - Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. - Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.Penyatuan partai-partaipolitik (hanya ada tiga partai Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyakpolitik yakni PPP,Golkar bermunculan partai-partai politik barudan PDI)
- 4. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanSistem pemerintahanlebih stabil, tidakmudah jatuh atau Pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahanberganti.Pemerintahan lemahsolid dan kompakfokus pada Kebijakan- belum ada tindakan Kolusi, Korupsi, danpembangunan ekonomi kebijakannya yang cukup berarti Nepotisme (KKN) diutamakan untuk untuk menyelamatkan sebagai prioritas mengendalikan negara dari penting stabilitas politik. keterpurukan.Kabinet Pembangunan Kabinet Gotong Kabinet Indonesia Kabinet Reformasi Royong VII Bersatu
- 5. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Perbedaan Lahir UU Persaingan Sehat, perubahan UUSentralistik Muncul otonomi daerah yang kebablasan Partai Politik, adanya UU Otonomi daerahDemokrasi Pancasila Demokrasi Liberal (neoliberaliseme),Sistem politikotoriter (partisipasi Media masa dan pers terbuka, orang bebas mengemukakan pendapatnya di mukamasyarakat sangat umum. baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasiminim) pembatasanruang gerak pers,Pemilu Luber(Langsung, Umum, pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adilBebas, Rahasia)
- 6. Orde Baru (Soeharto) Reformasi B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY PerbedaanAdanya Trilogi Tidak ada Trilogi pembangunanPembangungan, yaitu stabilitaspolitik, pertumbuhan ekonomiyang stabil, dan pemerataanpembangunanPresiden adalah penyelenggara Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurutpemerintah negara yang UUD.tertinggi dibawah MajelisPermusyawaratan Rakyat
- 7. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Masih ada ketimpangan ekonomi , kemiskinan, ketidakadilan Perbedaankesenjangan Mengangkat kaumantara rakyat minoritas.yang kaya danmiskin semakinmelebar
- 8. Orde Baru Reformasi (Soeharto) B. J. Habibie Gus Dur Megawati SBY Persamaan Perbedaan pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. RakyatSemua serba menikmati kebebasantertutup dan tidak Adanya kebebasan Pers. Mulai bersifat transparan. (namun sepertinyatranparan terlalu “bebas”). Media massa menjadi terbuka.Adanya dwifungsi Dwifungsi ABRI dihapuskan. Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi ABRI Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Penyelenggaraan pemilu pada masa
orde baru
1. Pemilu
1971
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemi¬lu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerin¬tahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemi¬lu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerin¬tahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
Sistem
Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem
stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan
DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan
su-aranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
b. Asas
Pemilu
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
- Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
- Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
- Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
- Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
c. Dasar
Hukum
- TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
- TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
- UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Per-musyawaratan / Perwakilan Rakyat
- UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
d. Badan
Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan.
Struktur
organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI),
di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di
kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan
disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia
Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan
suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga
negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia
Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad¬hoc).
e. Peserta
Pemilu
Peserta Pemilu 1971 terdiri atas :
a. Partai Nahdlatul Ulama
b. Partai Muslim Indonesia
c. Partai Serikat Islam Indonesia
d. Persatuan Tarbiyah Islamiiah
e. Partai Nasionalis Indonesia
f. Partai Kristen Indonesia
g. Partai Katholik
h. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
i. Partai Murba
j. Sekber Golongan Karya
Peserta Pemilu 1971 terdiri atas :
a. Partai Nahdlatul Ulama
b. Partai Muslim Indonesia
c. Partai Serikat Islam Indonesia
d. Persatuan Tarbiyah Islamiiah
e. Partai Nasionalis Indonesia
f. Partai Kristen Indonesia
g. Partai Katholik
h. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
i. Partai Murba
j. Sekber Golongan Karya
2. PEMILU
1977
a. Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per¬wakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
a. Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per¬wakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas
Pemilu
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar
Hukum
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Bi¬dang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
- Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.
- Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
- Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
- Undang-undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
- Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
d. Badan Penyelenggara
Pemilu
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struk¬tur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di desa/kelu¬rahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struk¬tur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di desa/kelu¬rahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
e. Peserta
Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu :
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu :
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
- Golongan Karya (GOLKAR).
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.
3. PEMILU
1982
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
a. Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
b. Asas
Pemilu
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
c. Dasar
Hukum
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu.
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum.
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin¬tah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan
Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta
Pemilu
Peserta Pemilu 1982 terdiri atas :
Peserta Pemilu 1982 terdiri atas :
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
- Golongan Karya (Golkar).
- Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
4. PEMILU
1987
a. Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
a. Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas
Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar
Hukum
- Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
- UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se-bagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin¬tah Nomor 1 Tahun 1976.
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu 1987
Peserta Pemilu 1987 terdiri atas :
Peserta Pemilu 1987 terdiri atas :
- Partai Persatuan Pembangunan.
- Golongan Karya
- Partai Demokrasi Indonesia.
5. PEMILU 1992
a. Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
a. Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
- Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.
- UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
- Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu.
Peserta Pemilu 1992 terdiri atas :
Peserta Pemilu 1992 terdiri atas :
- Partai Persatuan Pembangunan.
- Golongan Karya.
- Partai Demokrasi Indonesia.
6. PEMILU 1997
a. Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
a. Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang di¬gunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b. Asas Pemilu.
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c. Dasar Hukum.
- Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum.
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaima¬na telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
d. Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e. Peserta Pemilu.
Peserta Pemilu 1997 terdiri atas :
Peserta Pemilu 1997 terdiri atas :
- Partai Persatuan Pembangunan.
- Golongan Karya.
17. Partai Demokrasi Indonesia
Penyelenggaraan pemilu pada masa
reformasi
Jakarta (ANTARA News) - Setelah Presiden
Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatannya
digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan.
Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk Pemilu 1997.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.
Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.
Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.
Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.
Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.
Menyongsong Pemilu 2014
Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta pemilu 2014.
Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR. (*)
Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan, agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan.
Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk Pemilu 1997.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan Habibie yang harusnya sampai 2003.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah.
Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta.
Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu. Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden.
Karena presiden tetap dipilih oleh MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu 1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras.
Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.
Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.
Menyongsong Pemilu 2014
Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta pemilu 2014.
Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR. (*)
0 komentar:
Posting Komentar